Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

SELAMAT DATANG DI KUBU JINGGA,BLOG YANG BERISI APA SAJA.

Kamis, 25 Februari 2010

Pelaku Pembunuhan Dituntut 17 Tahun

AMLAPURA—
Sidang kasus pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian Dayu Gandi kembali digelar di PN Amlapura, Kamis (25/2) kemarin. Terdakwa kakak beradik I Nyoman Jangkreng dan Wayan Kembar dituntut 17 tahun penjara oleh JPU I Putu Darmada, SH.

Dihadapan majelis hakim yang dipimpin Tri Andita J, SH., M. Hum, berdasarkan keterangan saksi maupun fakta-fakta persidangan, JPU menilai kedua terdakwa terbukti melakukan kejahatan terhadap pasal 365 KUHP.

Mendapati kedua kliennya dituntut dengan hukuman yang sama, Penasihat Hukum kedua terdakwa, Made Ruspita justru keberatan. Ruspita mengaku tidak sreg dengan tuntutan JPU. Pasalnya, yang menjadi otak pelaku pembunuhan adalah Jangkreng. ‘’Kami tidak sreg, kenapa justru tuntutan Jangkreng dengan Kembar sama’’ujarnya usai persidangan.

Demikian Ruspita, Kembar dalam perkara tersebut hanya sebagai pembantu. Saat pembunuhan berlangsung, Kembar sendiri berada diluar. ‘’Kalaupun dia kemuadian masuk, itu karena dipanggil oleh Jangkreng’’ujar Pengacara tersebut.
Sementara itu, didalam kamar, Kembar diminta untuk memegangi tangan korban yang sudah lemas. Tau korbannya sudah mati, Kembar yang merasa ketakutan langsung keluar. Sedangkan Jangkreng sendiri langsung melucuti barang berharga yang ada dikamar tersebut.

Meskipun keberatan, pihaknya mengaku belum ada rencana untuk banding. Dia mengaku akan melihat putusannya dulu. ‘’Soal banding jika majelis sependapat dengan JPU, kami juga perlu mengkoordinasikannya dengan kedua klien kami’’pungkasnya. dek

Tradisi Megibung, Kebersamaan Khas Karangasem

KARANGASEM adalah sebuah Kabupaten di penghujung Timur Pulau Dewata (Bali). Karangasem yang dikenal sebagai Kabupaten termiskin di Tanah Bali ini ternyata memiliki banyak tradisi unik yang tidak terdapat di Kabupaten lainnya. Salah satunya tradisi makan bersama yang disebut magibung yang merupakan peninggalan Raja Karangasem.

Biasanya, tradisi megibung dilakukan ketika ada upacara pernikahan, maupun upacara Dewa Yadnya dan upacara lainnya yang melibatkan banyak orang. Tradisi makan megibung inipun hanya dikenal dikalangan masyarakat Karangasem. Namun demikian, tradisi makan bersama yang dinilai mampu menciptakan rasa kebersamaan ini mulai meluntur. Buktinya, banyak acara yang kini mulai dimodifikasi dengan system makannya memakai piring yang notabena satu piring untuk satu orang.

Menurut beberapa catatan sejarah, tradisi megibung ini dikenalkan oleh Karangasem I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Ketika itu, Karangasem dalam ekspedisinya menakhlukkan Raja-raja di tanah Lombok (Raja Sasak). Ketika istirahat dari peperangan, raja menganjurkan semua prajuritnya untuk makan bersama dalam posisi melingkar yang belakangan dikenal dengan nama Megibung. Bahkan, raja sendiri konon ikut makan bersama dengan prajuritnya.

Megibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan. Dalam megibung secara umum tidak ada perbedaan jenis kelamin, kasta atau catur warna. Anggota satu sela, misalnya, bisa terdiri laki dan perempuan, atau campuran dari golongan brahmana, ksatrya, wasya dan sudra. Mereka bersama-sama menghadapi makanan. Nilai kebersamaan ini telah dicanangkan sejak jaman I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, dan sudah menjadi tradisi hingga kini, baik di Karangasem maupun Lombok.

Dalam makan megibung juga ada ajaran etika. Sebelum acara makan dimulai seperti biasanya tangan harus dicuci bersih sebelum menghadapi makanan, dilarang bicara dan tertawa keras-keras, serta dilarang menjatuhkan remah makanan dari suapan. Kumpulan orang-orang dalam satu lingkaran disebut sela. Lauk puk dalam acara megibung juga sangat khas yakni berupa lawar merah dan putih (sejenis urap), sate baik sate isi maupun sate nyuh dan tum serta lauk khas lainnya.

Makan ala megibung ini juga sangat ketat. Bahkan, ketika salah satu peserta dalam suatu sela habis makan, yang bersangkutan tidak boleh meninggalkan temannya. Namun, dia harus menunggu sampai semua temannya selesai makan. Aturan yang tidak tertulis dalam makan megibung ini hingga kini masih terus dikuti dan dipatuhi oleh peserta makan megibung.

Di Karangasem, makan megibung secara maraton pernah dilakukan ketika awal pemerintahan Bupati Wayan Geredeg. Makan megibung yang dilakukan tanggal 26 Desember 2006 lalu ini digelar di Taman Sukasada ,Ujung dengan jumlah peserta tidak kurang dari 20.520 orang. Dek (dari berbagai sumber).

Pembunuh Anak Kandung Disidangkan

AMLAPURA--
Menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri, I Nyoman Jati (36) asal Dusun Tengading, Desa Antiga, Manggis, kini menjadi pesakitan di PN Amlapura. Sidang perdana terhadap terdakwa yang membanting anaknya hingga tewas pada 8 Desember lalu digelar, Kamis (25/2) kemarin. Terdakwa yang kini masih menjalani perawatan di RSJ Bangli didampingi kuasa hukumnya, I Gede Putu Bimantara Putra, SH.

Dalam sidang yang dipimpin hakin Tri Andita J, SH.M.Hum, JPU Mansur, menjerat pelaku degan pasal 44 ayat 3, UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dengan ancaman 15 tahun penjara. Dan pasal 137 jis pasal 143, pasal 81 dan pasal 152 KUHP.

Secara rinci JPU menyebutkan, kekerasan fisik yang dilakukan Jati kepada anaknya berlangsung dirumahnya sendiri, sekitar pukul 07.30 wita. Ketika itu, pelaku masih tertidur pulas. Tiba-tiba, anaknya yang masih bayi menangis. Mendengar tangisan anaknya, pelaku bukannya berusaha mendiamkannya. Namun sebaliknya pelaku membanting tubuh mungil tanpa dosa tersebut kehalaman sebanyak tiga kali.

Mendapat perlakuan beringas dari ayahnya, korban Ni Luh Sriani (5 bulan) kian histeris. Pada bantingan pertama korban tersungkur dengan posisi tertelungkup. Pada lemparan kedua, korban terjatuh dengan posisi tengadah. Pada aksinya yang ketiga, pelaku mengambil kaki korban lalu dilemparkan kembali ke tanah. Selanjutnya, pelaku mengambil korban dan menidurkan dikamar berselimut Koran.

JPU mengatakan, hasil visum et repertum pihak rumah sakit, akibat lemparan terdakwa, korban mengalami luka benjolan di kepala dan luka lembang di kepala baigian dan belakang. Tulang kepala dan kepala belakang retak, luka lembam didahi, luka lembam di kelopak mata kanan, pelipis kanan, pipi kanan dan luka lembam pada bagian dada yang mengakibatkan tewas.

Terhadap dakwaan tersebut, pelaku maupun PH nya tidak berkeberata. Usai pembacaan dakwaan, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi. Enam saksi yang didatangkan JPU yakni Nyoman Sudarma, Ni Komang Simpen, Ni Wayan Sari, Ni Ketut Laba, Gede Karya dan Ketut Sukra.

Saat pemeriksaan saksi berlangsung, kakek korban Wayan Sudarma maupun ibu korban Ni Wayan Sari menangis histeris ketika hakim menunjukkan barang bukti baju korban yang berisi darah.

Kakek korban, Sudarma bahkan sempat terjungkir dari tempat duduknya. Terdakwa Jati yang sudah 3 kali berobat ke RSJ Bangli juga ikut-ikutan menangis karena trauma.
Sementara itu yang menarik dalam sidang kemarin, ketika JPU bertanya kepada ibu korban apakah masih bermesra-mesraan?. Dengan polosnya perempuan berumur 41 tahun itu menjawab masih bahkan hingga melepaskan KB nya. dek

Anak Gadis Tinggalkan Rumah

AMLAPURA—
Seorang anak gadis berumur 15 tahun dilaporkan menghilang dari rumahnya di Jalan Jendral Sudirman, Gang Sandat, Amlapura. Bulan tidak kembali kerumahnya saat mengantarkan sang adik les ke Primagama, Rabu (24/2) lalu.
Hingga pukul 01.00 wita, Kamis (25/2), Bulan tidak kunjung pulang. Akibatnya, karena merasa resah, orang tua korban melaporkannya ke Mapolres Karangasem.


Mendapat laporan ada anak gadis yang hilang, petugas dari Polres Karangasem langsung melakukan penyelidikan. Berdasarkan informasi, ada yang sempat melihat Bulandari ke Taman Sukasada Ujung bersama seseorang yang diduga pacarnya. Setelah disisir kelokasi tersebut, Bulan tidak ditemukan. Polisi bersama orang tua korban bahkan menyisirnya hingga ke pantai Ujung.

Pahumas Polres Karangasem AKP Syamsul Hayat seijin Kapolres AKBP Heny Harsono diminta keterangannya membenarkan kejadian tersebut. ‘’Petugas sudah kita turunkan untuk mencari keberadaan Bulandari’’ujar Pahumas.

Informasi yang dihimpun di Mapolres Karangasem menyebutkan, Bulan meninggalkan rumahnya sekitar pukul 14.00 wita, Rabu (24/2) lalu. Ketika itu, Bulan meminta ijin kepada bapaknnya akan keluar mengantarkan adiknya ke tempat les di Jalan Diponegoro, Amlapura dengan menaiki sebuah Sepeda motor Honda Supra.

Tanpa merasa curiga sedikitpun, sang ayah mengijinkan. Anehnya, lama ditunggu-tunggu, hingga pukul 15.30 wita, Bulan tidak kunjung datang. Bahkan, adiknya yang pulang les akhirnya dijemput oleh ibunya.

Meskipun resah, orang tua Bulan masih berusaha mencarinya sendiri. Pukul 17.00 wita, Bulan sempat ditelpon oleh orang tuanya. Telpon genggam yang dituju nyamung, hanya saja tidak ada yang mengangkatnya.

Keberadaan Bulan sempat ditanyakan kepada teman-temannya. Namun jawaban yang didapatkan tidak memuaskan. Orang tua Bulan semakin khawatir setelah hingga pukul 23.00 wita, anak gadisnya tidak kunjung pulang. Akhirnya, sekitar puku 01.00 wita, orang tua korban melaporkannya ke Mapolres Karangasem. Dek

Rabu, 24 Februari 2010

Sejarah Tenganan Pegringsingan

TENGANAN merupakan salah satu desa tua yang ada di Kabupaten Karangasem. Desa seluas lebih kurang 900 hektar ini memiliki banyak keunikan yang tidak ada di desa lainnya di Bali. Salah satu keunikan yang melekat dengan Tenganan yakni perang pandan yang menjadi destinasi wisata yang menarik.

Berbicara asal mula desa yang terkenal dengan tenun geringsingnya ini, tidak ada catatan sejarah tertulis yang menyebutkan kapan desa ini mulai terbentuk. Menurut penekun spiritual asal Desa Tenganan, I Nyoman Sadra mengatakan, sumber tertulis tidak ditemukan lagi, kemungkinan sudah terbakar saat desa ini tertimpa musibah pada tahun 1842 silam. Ketika kebakaran itu terjadi, semua yang ada di kampung Tenganan ini terbakar, termasuk semua awig-awig maupun catatan lainnya.

Meskipun tertimpa musibah kebakaran, namun, awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat berusaha kembali ditulis. Hanya saja, karena penulisannya berdasarkan ingatan, maka hasilnya kadang tidak nyambung antara pasal yang satu dengan pasal lainnya. Namun demikian, awig-awig milik desa Tenganan ini bisa dibilang sangat lengkap. Aturan perkawinan maupun aturan lainnya dimuat secara lengkap termasuk masalah pelestarian lingkungan. Awig-awig pasca kebakaran tahun 1842 lalu berhasil dihimpun kembali memuat lebih kurang 50 pasal.

Meskipun tidak ada catatan tertulis resmi yang menjelaskan asal mula desa Tenganan ini, namun dalam masyarakat setempat, berkembang dua versi cerita menyangkut keberadaan Tenganan. Versi pertama menyebutkan, keberadaan Desa Tenganan ini terkait erat dengan keberadaan Raja Mayadanawa yang berpusat di Bedahulu. Mayadanawa disebutkan sebagai raja yang congkak dan tidak mau mengakui keberadaan Tuhan. Masyarakatnya juga dilarang melakukan ritualisasi kepada Tuhan. Akibat ulahnya tersebut, para Dewa di khayangan menjadi marah. Lalu, para dewa melakukan rapat di Gunung Agung. Hasilnya, Dewa Indra selaku dewa perang diutus ke bumi untuk memerangi Mayadanawa. Singkat cerita, dalam perang antara dewa Indra dengan Mayadanawa, raja berperangai raksasa itu kalah. Untuk merayakan kemenangannya itu, Indra bermaksud melaksanakan upacara Aswameda Yadnya. Dalam upacara menurut versi ini, Indra akan menggunakan seekor kuda putih yang bernama Ucchaih Srawa oang Bali menyebutnya Once Srawa untuk dijadikan kurbannya.

Kebetulan sekali, kuda ini digunakan Indra saat memerangi Mayadanawa. Tahu dirinya akan dijadikan kurban, kuda yang sakti tersebut langsung melarikan diri dari Bedahulu. Untuk mencari kudanya yang hilang, Indra akhirnya mengutus orang-orang Tenganan (ketika itu orang Tenganan masih tinggal di Bedahulu dekat Pejeng) untuk mencari kuda putihnya yang akan dijadikan kurban Aswameda.
Kelompok pencari kuda tersebut dibagi dua kelompok. Mereka mencari memencar dengan arah berlawanan. Satu kelompok mencari kearah utara, satunya lagi menuju timur. Kelompok yang menuju ke timur sangat beruntung karena berhasil menemukan kuda tersebut walaupun dalam keadaan mati. Kuda tersebut mereka temukan dilereng bukit Tenganan.

Kelompok yang menemukan kuda ini tidak mau kembali ke Bedahulu. Indra yang mengetahui kejadian itu akhirnya memberikan wilayah disekitar bangkai kuda tersebut kepada kelompok yang menemukannya. Dengan syarat, sejauh mana bangkai kuda itu tercium, sejauh itu wilayah yang dihadiahkan.

Akhirnya, karena ingin mendapatan wilayah yang luas, bangkai kuda tersebut langsung dipotong-potong dan dibawa sejauh mereka bisa berjalan. Keadaan inipun diketahui oleh Indra. Lalu, Indra memanggil orang-orang tersebut. Tempat dari mana Indra memanggil orang tersebut kini berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Batu Madeg yang tempatnya disebelah pos Polisi Candidasa. Sedangkan ditempat orang yang membawa bangkai kuda tepatnya berbatasan dengan Desa Macang kini menjadi Pura Pengulapan. Kedua pura ini disungsung oleh Desa Tenganan.

Sampai saat inipun, Tenganan dengan masyarakat Bedahulu masih ada hubungan. Setiap sasih Kapat kalender Tenganan, masyarakat Bedahulu pasti melakukan persembahyangan ke Tenganan. Demikian juga Tenganan pada bulan yang ditentukan menurut kalender Tenganan akan melakukan persembahyangan ke Bedahulu.

Peran Dewa Indra yang sangat besar dalam kejadian tersebut membuat warga Tenganan menjadi penganut Indra. Ini dibuktikan dengan adanya perang pandan yang merupakan ritual kepada Indra.

Sementara itu, versi lainnya dikatakan oleh Sadra agak dekat dengan sejarah. Keberadaan Tenganan menurut versi ini dimulai dengan ketegangan antar sekta yang ada di Bali ketika pemerintahan Raja Udayana Warmadewa. Ketika itu, di Bali ada banyak sekta. Sekta inipun saat itu nampaknya tidak pernah akur dan sarat dengan intrik politik.

Raja Udayana Warmadewa yang khawatir dengan kondisi ini langsung bersikap. Raja mengundang Mpu Kuturan yang merupakan penganut Buddha sebagai mediator. Pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga yang artinya pertemuan tiga unsure yang terdiri Raja, sekta-sekta di Bali dan Mpu Kuturan sebagai mediator. Tempat melakukan pertemuan tersebut kini menjadi Pura Samuan Tiga yang ada di Bedahulu, Gianyar.

Berkat campur tangan Mpu Kuturan, keributan sekta-sekta tersebut bisa diredam dan menghasilkan paham Siwa. Untuk menyatukannya, maka dibangunlah Pura Besakih yang secara politis dinilai sebagai pemersatu masyarakat dari banyak Sekta.
Pada dasarnya, orang Tenganan menerima keputusan tersebut. Namun tidakah sepenuhnya. Bukti penerimaan dapat dilihat adanya bangunan pura Khayangan tiga dalam desa tersebut. Tetapi, masyarakat Tenganan lebih banyak ritualnya ditujukan kepada Indra. ‘’Orang-orang Tenganan itu penyembah Indra. Mereka kan orang Arya dari bangsa Ksatrya’’ujar Sadra saat itu.

Namun demikian, menurut penemuan ilmiah. Pada tahun 1978, seorang ilmuwan asal Swis bernama George Breguet pernah melakukan studi genetika di Tenganan. Hasilnya, darah warga Tenganan ternyata memiliki kesamaan dengan darah orang Calkutta, India tepatnya dari Orisa, Benggali. Bukti lainnya yang menguatkan orang Tenganan ada hubungan dengan India yakni adanya tenun dobel ikat. Menurut Sadra, tenun ini hanya ditemukan ditiga lokasi yakni India, Jepang dan Tenganan (Indonesia). Bukti lainnya, di tanah Benggali hingga saat ini juga masih ditemukan ritual Bali Yatra yaitu perjalanan suci orang-orang Orissa ke Bali.corak kain Gringsing yang ada di Tenganan juga sangat mirip dengan corak kain Gringsing yang dibuat orang Orissa.DEK.

Pencuri Panel PLTS Dibekuk

AMLAPURA—
Setelah enam bulan menjadi tanda Tanya. Panel pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) warga Dusun Darmaji, Desa Ban, Kubu, Karangasem, yang sempat hilang berhasil ditemukan. Panel bermerk Soreat World bantuan pemerintah pusat yang dipasang dibalai banjar desa setempat ternyata dicuri oleh I Nengah Kesiar (24) yang juga warga dusun setempat.

Meskipun panel yang hilang sangat berguna untuk pembangkit listrik bagi dusun tertinggal tersebut, namun, warga yang dirugikan tidak langsung melaporkannya ke Polisi. Warga berusaha menelusuri sendiri hingga akhirnya Senin (22/2) warga mengetahui barang tersebut berada dirumah Kesiar. Informasi yang dihimpun Rabu (24/2), pelaku kini sudah digelandang ke Mapolsek Kubu beserta barang buktinya.
Sebelum hilang pada 16 Agustus 2009 lalu, panel PLTS ini dipasang pada atap balai banjar. Kadus Dusun Darmaji, I Nengah Radit sediri dalam laporannya baru mengetahui barang tersebut hilang setelah diberitahu oleh warganya, Nyoman Buda. Setelah dicek ke lokasi pemasangan, ternyata laporan tersebut benar. Panel PLTS yang terdiri dari lempengan baterai dan sebuah Accu hilang dari tempatnya. Namun, saat itu, warga sepakat untuk tidak melaporkannya ke Polisi.

Setelah enam bulan berselang, barulah kasus tersebut terungkap. Ketika itu, Senin (22/2) lalu, sekitar pukul 15.00 wita, secara tidak sengaja salah seorang warga menemukan panel yang hilang tersebut di rumah pelaku Kesiar. Sebelumnya, pelaku sempat mengelak tuduhan tersebut, namun, karena barang buktinya nyantel dirumahnya, pelaku mengakuinya. Warga akhirnya menggelandang ke Mapolsek Kubu.
Pahumas Polres Karangasem AKP Syamsul Hayat seijin Kapolres AKBP Heny Harsono dikonfirmasi membenarkan penangkapan tersebut. ‘’Ya..pelaku kini ditahan. Dalam pemeriksaan dia mengaku sebagai pencurinya’’tandasnya. DEK

Diserbu Gerombolan Kera, Petani Gagal Panen

AMLAPURA—
Petani buah di Desa Adat Pasedahan, Manggis, Karangasem terancam gagal panen. Pasalnya, ratusan hektar tanaman buah milik desa tersebut diserang hama kera sejak beberapa bulan terakhir. ‘’Semua tanaman buah diserang kera. Petani yang mengerjakan tanah desa tidak mampu berbuat apa-apa’’ujar petani penggarap I Ketut Geria, Rabu (24/2) kemarin.

Tanaman buah milik desa ini digarap oleh 30 orang petani. Tanah desa ini ditanamani berbagai jenis tanaman buah seperti mangga, manggis, pisang dan nenas yang merupakan komoditi unggulan di desa tersebut. Parahnya lagi, kera-kera yang banyak berpindah dari Bukit Gumang selain merusak tanaman buah milik desa juga senang minum tuak warga yang masih dipohonnya. ‘’Nenas maupun buah lainnya semua dimakan kera, demikian juga tuak dihabiskan. Usai minum tuak ditumpahkan’’imbuhnya.

Nyoman Wage, Prejuru desa adat setempat juga mengakui kera banyak menyerang tanaman buah milik desa. Kera ini sekarang tidak mengenal rasa takut. Biasanya, minyak babi yang mampu membuat kera ketakutan sudah tidak diperhatikan lagi.
Melihat hama kera yang banyak merugikan warga sekitarnya, pihaknya mengaku sudah melakukan upacara nangluk merana. ‘’Berbagai upaya sudah kita lakukan seperti menggelar upacara nangluk’’ujar Wage.

Sementara itu, warga yang mulai gerah dengan ulah kera-kera ini juga banyak yang mulai memasang perangkap hingga ada yang memburunya dengan senapan angin.
Akibat ulah kera yang tiada terkendali, yang dirugikan bukan warga semata. Pihak desa adat yang semula mendapatkan upeti lebih dari tanah adat tersebut kini terpaksa harus berhitung. Pihaknya hanya mengambil upeti sebesar 30 hingga 50 persen dari sebelumnya. dek

Senin, 22 Februari 2010

PRO KONTRA PERKAWINAN NYENTANA

Pendahuluan
Masalah perkawinan adalah masalah yang sangat rumit. Karena perkawinan bukan hanya menyangkut ikatan antara seorang pria dengan wanita yang akan dinikahinya. Tetapi lebih dari itu perkawinan adalah lembaga yang sangat sacral karena menyangkut soal kepercayaan kepada Tuhan dan melibatkan keluarga. Yang perlu diingat, berbicara perkawinan juga akan merembet dalam system pewarisan.

Khusus masyarakat Hindu Bali, yang system pewarisannya bersifat patrilineal (garis kebapakan) perkawinan yang dilakukan harus benar-benar memperhatikan system adat yang berlaku. Banyak kasus Bali seorang anak laki-laki kehilangan hak mewarisnya karena melakukan perkawinan yang dinilai bertentangan dengan adat yang berlaku yakni akibat melakukan perkawinan nyentana. Perkawinan nyentana yakni perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga istrinya, tinggal dirumah istri dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri.

Pro kontra perkawinan nyentana hingga saat ini masih diperdebatkan. Kondisi ini sebenarnya tidaklah berlebihan karena menyangkut sistem pewarisan termasuk didalamnya menyangkut soal keturunan.

Bagi masyarakat yang menerapkan sistem perkawinan nyentana, suatu keluarga mengangkat sentana bila keluarga bersangkutan tidak memiliki anak laki-laki sebagai ahli waris yang akan melanjutkan keturunannya. Sehingga, untuk melanjutkan keturunan keluarga bersangkutan, pihak keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki tersebut merasa perlu untuk menetapkan salah satu anaknya sebagai sentana rajeg yang akan mencari sentana unutuk diajak tinggal dirumahnya.

Aturan dalam perkawinan nyentana dengan perkawinan yang lazim dilakukan dalam masyarakat kebanyakan juga sedikit unik. Dalam perkawinan biasa, lazimnya seorang lelaki yang melamar seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun dalam perkawinan nyentana si gadislah yang melamar si lelaki untuk dijadikan suaminya untuk selanjutnya diajak tinggal dirumah sigadis. Sementara itu keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan keturunan keluarga istrinya tadi. Karena konsekwensi inilah yang mengakibatkan perkawinan nyentana banyak ditentang oleh masyarakat Bali khususnya yang berada di wilayah Karangasem.

Namun demikian, tujuan perkawinan seperti yang termuat dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 adalah membentuk suatu rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, apapun dalilnya, perkawinan nyentana sah secara hokum selama dilakukan berdasarkan unsure suka-sama suka dan dilakukan menurut agama yang berlaku bagi kedua pihak.

Pengertian Perkawinan

Menurut UU No I Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang disebut Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jenis perkawinan yang ada juga beragam yang secara umum dibagi dua yakni perkawinan biasa dan perkawinan Nyentana. Kalau melakukan perkawinan biasa yakni logisnya pria meminang wanita untuk dijadikan istri tidak akan bermasalah. Jenis perkawinan berikutnya yakni Nyentana atau Nyeburin dimana pria dipinang wanita. Jenis perkawinan inilah yang banyak menimbulkan masalah. Dalam perkawinan ini, wanita berstatus sebagai Sentana Rajeg yang akan melanjutkan keturunannya.


Dalam masyarakat Hindu Bali, anak laki-laki memang mempunyai nilai penting dalam melanjutkan keturunan. Karena, anak laki-lakilah yang akan mewarisi adat maupun melanjutkan ‘’sidikara’’ dalam masyarakat. Hal ini berbeda dengan anak perempuan yang tidak memiliki kewajiban seperti anak laki-laki. Akibatnya, kelaurga yang tidak memimili anak laki-laki akan berusaha mencari sentana untuk melanjutkan keturunannya.

Nyentana Sah Menurut Manawa Dharmacastra

Pada azasnya, system kekerabatan dalam masyarakat Bali menganut sistem Patrilineal. Dimana, keturunan yang dilahirkan mengikuti keluarga pihak ayahnya. Tujuan perkawinana secara kasat mata hanya untuk melanjutkan keturunan suatu keluarga (dinasti). Masalah akan timbul manakala suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Sehingga, untuk menghindari keputungan keluarga (putusnya keturunan) keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki ini akan menetapkan salah seorang anak perempuannya sebagai sentana rajeg (statusnya ditingkatkan menjadi laki-laki yang akan mewarisi milik orang tuanya).

Sebagian masyarakat Bali berargumen bahwa perkawinan Nyentana tidak boleh dilakukan. Karena mereka khawatir keturunannya yang menjadi keluarga pihak perempuan tersebut akan ‘’kesakitan’’ dan kesulitan dalam menentukan kawitannya (asal-muasal keturunan). Masalah berikutnya yang banyak ditakutkan yakni terkait dengan pembagian warisan dan nasib anaknya ketika terjadi perceraian dengan istrinya.

Dalam masyarakat adat Bali, kalau seorang laki-laki mengikuti pihak keluarga istrinya biasanya oleh keluarganya maupun lingkungannya akan dicemooh dan disebut ‘’Kepaid Bangkung’’. Sebenarnya, uangkapan kasar inilah yang sangat ditakutkan oleh pihak keluarga lelaki yang anaknya nyentana. Secara yuridis pelaksanaan nyentana dengan kepaid bangkung berbeda. Karena proses nyentana jelas dilakukan dengan sebuah upacara sehingga status pengantin pria juga jelas menjadi bagian dari keluarga istrinya. Sementara kepaid bangkung sampai sekarang masih rancu karena biasanya status laki-aki tetap pada keluarganya hanya saja tinggalnya dirumah istri. Itulah biasanya disebut kepaid bangkung.

Namun demikian, argument ini tidak 100 % benar. Larangan perkawinan nyentana hanya didasarkan atas kebiasaan dari adat yang berlaku semata. Karena sebagian daerah tidak ada kebiasaan nyentana jadi wajarlah masyarakat adat disana menentang perkawinan ini. Sebenarnya golongan masyarakat yang melakukan penentangan dengan kebiasaan perkawinan nyentana ini sangat tidak memahami dari hakekat perkawinan dan penentangan yang mereka lakukan tidak memiliki dasar hokum yang kuat. Mereka hanya mendasarkan larangan melakukan perkawinan nyentana berdasarkan adat kebiasaan. Perlu diingat, adat kebiasaan muncul karena kesepakatan dalam suatu masyarakat adat yang dilakukan dan akhirnya diikuti secara turun temurun. Sehingga lama-kelamaan kebiasaan tersebut berubah menjadi hokum adat.

Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang perkawinan nyentana. Namun demikian kembali seperti keterangan diatas masyarakat pada umumnya memandang negatif perkawinan ini. Karena pihak keluarga laki-laki akan dianggap tidak memiliki harga diri.

Kitab Manawa Dharmasastra sebagai sumber hokum positif yang berlaku bagi umat Hindu secara tegas menyebutkan mengenai status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki. Cloka 127 kitab tersebut secara gamblang menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan’’.

Dari uraian Cloka tersebut, jelaslah bahwa perkawinan nyentana dibolehkan. Lelaki yang mau Nyentana inilah yang disebut Sentana. Dengan demikian, argument yang mengatakan pelarangan terhadap perkawinan nyentana harus dipandang tidak beralasan karena tidak memiliki dasar hokum yang jelas. Pelarangan ini hanya didasarkan atas kebiasaan yang ada. Adat kebiasaan muncul karena perilaku yang diakui dan dilakukam secara turun-temurun. Sehingga kebiasaan ini bukanlah dasar yang logis dijadikan alasan untuk menentang perkawinan nyentana.


Demikian halnya dengan pembagian warisan dalam perkawinan Nyentana. Dalam Cloka 132 Manawa Dahrmacastra disebutkan, ‘’Anak dari wanita yang diangkat statusnya menjadi laki-laki sesuangguhnya akan menerima juga harta warisan dari ayahnya sendiri yang tidak berputra laki-laki(kakek). Ia akan menyelenggarakan Tarpana bagi kedua orang tuanya, maupun datuk ibunya’’. Selanjutnya Cloka 145 menyebutkan’’Anak yang lahir dari wanita yang statusnya ditingkatkan akan menjadi ahli waris seperti anak sendiri yang sah darinya. Karena hasil yang ditimbulkan adalah untuk dari pemilik tanah itu menurut UU’’.

Catatan
Namun demikian, harus diakui dengan jujur. Meskipun nyentana memiliki dasar kuat, dan penentangnya hanya berdalilkan kebiasaan. Perlu diingat, kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat adat memiliki akibat yang sangat besar, baik bagi keluarga maupun diri sendiri. Tidak menutup kemungkinan, ketika anda melakukan pelanggaran terhadap adat yang logis berlaku dalam lingkungan, kita akan dikenakan sanksi yang berat. Yakni keluarga akan dicemooh dan akibatnya kita dibuang oleh keluarga, dan keberadaan kita tidak pernah diakui sebagai bagian dari keluarga tersebut. Sanksi kesepekang dari ‘’pasemetonan’’ pastinya telah menunggu. dari berbagai sumber.dek

Sabtu, 20 Februari 2010

Gebug Ende, Ritual Panggil Hujan

SELAIN keberadaan kain Geringsing Tenganan yang dianggap mampu menghindarkan pemakainnya dari segala bencana penyakit. Budaya unik lainnya yang dianggap memiliki nilai sakral yakni keberadaan Gebug Ende yang ada di Desa Seraya, Kecamatan Karangasem.

Sesuai dengan asal daerahnya, Gebug Ende lebih dikenal dengan sebutan Gebug Seraya. Atraksi para jawara gebug di Desa Seraya Timur, bukan hanya sekedar untuk menunjukan ketangkasan. Namun dibalik itu ada nilai sakral yang sangat dikeramatkan warga setempat. Gebug Ende atau Gebug Seraya jarang dipertunjukan didepan umum, karena gebug ende merupakan salah satu kesenian sakral nyang dikeramatkan.

Secara sekilas, keberadaan seni sakral dari desa terbelakang yang terkenal dengan penghasil ikan laut ini memang terkesan keras. Karena, senjata yang digunakan dalam perntunjukan ini berupa rotan kering dengan perlengkapan tameng dari bahan rotan dan kulit binatang. Namun ketika dua orang penggebug sedang berlaga, mereka terlihat seperti sedang menarikan sesuatu.

Gebug seraya tergolong kesenian klasik ini biasanya digelar setiap musim kemarau dengan tujuan untuk mengundang hujan.

Menurut cerita, pada jaman dahulu Seraya pernah mengalami kemarau panjang yang mengakibatkan areal perbukitan menjadi gersang, lahan pertanian kering sehingga warga seraya mengalami gagal panen dan warga kesulitan mendapatkan air. Karena kegeringan tanpa air, warga Seraya saat itu langsung menggelar ritual ”Magebug” untuk memanggil atau memohon hujan. Setelah ritual Magebug itu dilakukan biasanya langit akan mendung dan turun hujan. Dan ritual ini akan digelar terus sampai hujan turun.

Sementara itu, orang yang melakukan pertunjukkan ini, meskipun dipukul dengan rotan oleh lawannya diyakini tubuhnya tidak merasakan kesakitan. Meskipun luka memar dan berdarah, mereka tidak merasakan sakit. Dek

Dilema Perkawinan ''Negenin''

''Lebih Berat Karena Tanggung Dua Kewajiban''

Banyak sekali kasus perkawinan adat di Bali. Selama ini perkawinan nyentana dimana prosesinya unik karena pria yang dipinang wanita. Akibatnya perkawinan ini mendapat banyak tentangan dari sebagian masyarakat Bali. Perkawinan dengan system mencari sentana muncul sebagai akibat suatu keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunannya. Sehingga, guna melanjutkan sidikara dalam perkumpulan adatnya, keluarga tanpa anak laki-laki ini memandang perlu untuk menetapkan salah seorang anak perempuannya mencari sentana.

Masalah baru muncul manakala, masing-masing pihak bersaudara tunggal. Sudah dapat dipastikan yang pria tidak mau nyentana. Tetapi lantaran saking cintanya, mestikah hubungan diputuskan??

Sebagai jawaban dari masalah ini ada system perkawinan yang mungkin bisa diterapkan yang oleh banyak ahli hokum adat di Bali disebut dengan perkawinan ‘’Pada Gelahang’’ (sama-sama memiliki) atau lebih popular dengan sebutan ‘’Negenin’’. Artinya, masing-masing pihak tetap berstatus sebagai purusa dalam keluarganya. Konsekwensinya orang yang melakukan perkawinan negenin kewajibannya memang lebih berat dibandingkan orang yang melakukan perkawinan biasa. Karena keduanya harus melakukan kewajiban adat pada kedua tempat yakni dirumah suami dan istrinya.

Banyak ahli hokum adat yang menilai perkawinan pada gelahang bukanlah bentuk perkawinan biasa dan perkawinan ini juga bukan pula perkawinan nyentana. Karena masing-masing pihak memiliki status sama dalam keluarganya yakni purusa dan secara bersama-sama akan melaksanakan kewajibannya dikedua tempat yakni ditempat keluarga suami dan tempat keluarga istrinya. Sebagai akibat kewajiban ini, kedua pasangan yang melakukan perkawinan negenin memiliki hak, dimana saat meninggal kelak bisa dikuburkan disetra desa istrinya atau di setra desa asal suaminya.

Perkawinan biasa dilakukan seperti lazimnya perkawinan yang dilakukan orang kebanyakan. Yakni pihak pria yang melamar sigadis untuk dijadikan istri. Sebaliknya, perkawinan nyentana dilakukan dimana pihak keluarga si gadis yang melamar si pria untuk diajak tinggal dirumahnya. Siwanita ini statusnya disebut sentana rajeg, yakni perempuan yang ditingkatkan statusnya sebagai laki-laki melalui upacara.

Kembali pada masalah diatas, ketika masing-masing pihak memiliki anak tunggal, pihak pria tidak akan mau melakukan perkawinan nyentana sedangkan pihak perempuan juga akan keberatan jika anaknya diambil untuk tinggal bersama pujaannya. Sehingga, meskipun lebih berat karena menanggung dua kewajiban adat, perkawinan negenin atau perkawinan ‘’negen ayah’’ adalah alternative yang bisa dijalani. dek

Kekuatan Magis Kain Gringsing

KABUPATEN Karangasem yang berada diujung Timur Pulan Bali memiliki kekayaan budaya yang berlimpah. Budaya sebagai hasil seni yang dimiliki bukan hanya menyajikan keindahan, namun sarat dengan nilai mistis.

Kehidupan mistis memang sangat melekat dalam masyarakat Hindu di Bali. Hasil kerajinan yang dihasilkan sebagian masyarakat Bali juga diyakini mengandung nilai mistis.

Kerajinan Tenun Endek Gringsing yang keberadaannya sangat terkenal ini adalah kerajinan khas masyarakat Tenganan Pegringsingan di Kecamatan Manggis, Karangasem. Kain Gringsing yang dihasilkan diyakini memiliki kekuatan gaib yang dipercaya mampu menangkal berbagai kekuatan jahat ataupun penyakit. Kain Endek Gringsing sendiri serasal dari kata “Gering” yang berarti Sakit, dan “Sing” yang berarti tidak. Jadi secara arfiah kata Geringsing diartikan Tidak Sakit. Bermodal arti tersebut, masyarakat setempat maupun masyarakat Bali pada umumnya sangat percaya. Sehingga jangan heran ketika kita berada di Tenganan, masyarakat sekitarnya akan mengenakan batik geringsing karena diyakini bisa menghindarkan mereka dari berbagai kekuatan jahat atau sebagai penangkal berbagai jenis penyakit.dek

Tradisi Ayu Kadengklong

BERBAGAI budaya unik terdapat di Kabupaten penghujung timur Bali, Karangasem. Selain Megeret Pandan (perang pandan) di Desa Tenganan Pegringsingan, Gebug Ende di Desa Seraya serta budaya unik di desa tua lainnya, di Karangasem juga ada upacara pecaruan yang cukup unik yang berlangsung di Desa Adat Linggawana, Desa Kertamandala, Abang, Karangasem. Pecaruan unik ini yakni sapi yang diarak dijalanan desa setempat dengan melewati enam gundukan api unggun. Selanjutnya, sapi tersebut dilebar (dibunuh) di perbatasan desa tepatnya di lokasi setra Kadengklong.

Menurut Jro Mangku Made Rai, upacara pecaruan sapi yang disebut Ayu-Ayu Kadengklong ini dilakukan setiap tahun saat tileming bulan keenam sebagai yadnya upacara terbesar (semacam tawur agung didesa setempat). Sebelum caru diarak, didahului dengan persembahyangan bersama yang diising dengan tari rejang. Selanjutnya dilakukan Murwa Daksina. Setelah itu Caru bayang-bayang Kadengklong Mesolah dengan melewati enam gundukan api unggun di sepanjang rute jalan desa. Selanjutnya barulah caru tersebut dilebar di setra Kadengklong tepatnya di perbatasan Desa Adat Linggawana dengan Desa Adat Ancut.


Sementara itu, Prajuru Adat Desa Adat Liggawana I Wayan Anta, menambahkan, prosesi Kadengklong ditarikan oleh 4 orang secara bergilir dimulai dari depan Pura Puseh untuk lanjut melewati enam gundukan api unggun masing-masing didepan Pura Kawitan, ditengah desa, di pekarangan, didepan Bale Banjar dan di depan Pemedal Agug Ida Betara Bagus Mas, sebelum dilebar ke perbatasan desa. Sesolahan pecaruan Kadengklong diyakini krama setempat sebagai prosesi upacara sakral jika ada yang berani melarang maka yang melarang ditimpa musibah dan berisiko niskala. Menurut cerita turun temurun, dahulu kala pernah dilarang oleh pihak Puri, sehingga menimbulkan bencana terjadi guncangan hebat di Puri, semenjak itu Puri tidak lagi berani melarang aktifitas spiritual tersebut hingga ajeg sampai sekarang. Wujud penyelamatan alam yang menjadi makna sesolahan Kadengklong sampai saat ini memberi dampak kerahayuan jagat khususnya di Desa Adat Linggawana.


Sarana sapi yag pantang dipakai pecaruan Ayu Kadengklong, menurut Anta, adalah sapi yang memiliki cacat bawaan atau pisik seperti Tledu Ngiyah, Panjut, Meuser Dimangar karena jika dipaksakan digunakan upacara dapat mendatangkan mara bahaya. Setelah pelaksanaan Caru Kadengklong, keesokan harinya semua krama Desa Adat Linggawana melakukan Tapa Brata Penyepian Adat, sebagai wujud pengendalian hawa napsu duniawi dan meningkatkan srada bakti serta penyucian diri. Saat ngelebar pecaruan Kadengklong krama setempat juga percaya memperoleh bekas caru untuk dimakan dapat mendatangkan rejeki dan memperoleh anugrah keselamatan, maka itu usai prosesi nglebar caru, krama biasanya berebut untuk memperoleh bagian-bagian dari caru untuk dimakan atau dibawa pulang. dek

Haramkah Nikah Beda Agama?

LEMBAGA perkawinan merupakan lembaga yang sangat sacral. Karena perkawinan erat menyangkut soal kepercayaan pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan.

Dengan kemajuan perkembangan kehidupan disegala bidang, perkawinan tidak lagi hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepercayaan yang sama. Tidak menutup kemungkinan perkawinan dilakukan oleh pasangan yang berbeda kepercayaan. Sehingga, ini merupakan permasalahan yang rentan terjadi dalam masyarakat.

Pada zaman dahulu, perkawinan dengan kepercayaan (agama) berbeda mungkin sangat tabu untuk dilakukan. Kalau toh dilakukan sudah dapat dipastikan pihak keluarga yang bersangkutan tidak akan merestuinya. Namun, dijaman yang serba modern seperti sekarang masihkan ini tidak boleh dilakukan?. Lantas, apakah penentangan perkawinan beda agama memiliki dasar alasan yang kuat?.

Secara tradisional, mungkin penentangan perkawinan beda agama memiliki alasan jelas yakni takut dikucilkan dalam masyarakat. Alasan berikutnya ketakutan ada keretakan hubungan dan tidak jelasnya asal-usul anak yang akan dilahirkan. Sekarang permasalahan kita kembalikan kepada kodrat manusia yang lahir penuh perbedaan.

Manusia lahir didasarkan atas cinta kasih. Manusia oleh Tuhan dilahirkan penuh dengan perbedaan-perbedaan. Mulai dari perbedaan Agama, Adat termasuk Ras, Budaya dan perbedaan jenis kelamin. Namun, perbedaan tersebut bukan dimaksudkan untuk membeda-bedakan. Kalau kita sadar bahwa kita dilahirkan dengan dasar perbedaan dan cinta kasih, lantas apakah salah kita mencintai seseorang walaupun berbeda agama sekalipun?. Kalau memang yang berbeda sangat haram untuk disatukan, lantas kenapa perempuan dan pria bersatu untuk menikah. Kenapa mereka tidak menikah dalam jenis yang sama sekalian?.
Namun demikian harus diakui, pengaturan perkawinan beda agama sampai sekarang belum jelas alias gamang. Karena UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 sendiri tidak mengatur dengan jelas soal perkawinan beda agama ini. Masalah yang diatur dalam UU tersebut masih membahas masalah perkawinan secara umum seperti perceraian maupun Perkawinan menurut pasal status anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan.

Menurut UU No 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri yang bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Selanjutnya, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Artinya, pasal ini masih memungkinkan dilakukannya perkawinan beda agama selama dilakukan berdasarkan agama masing-masing yang berkepentingan. Pasal 6 ayat 1 UU tersebut menyebutkan Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Hanya itulah sedikit pengaturan perkawinan beda agama. Dan itupun sifatnya masih gamang karena tidak disebutkan secara gambling dalam UU tersebut. Namun demikian, beranjak dari pemikiran bahwa manusia dilahirkan penuh dengan perbedaan, maka perkawinan beda agama sebenarnya sah dilakukan asalkan dikehendaki oleh kedua belah pihak. Untuk memuluskan jalannya perkawinan beda agama, salah satu pihak yang terlibat hendaknya mengalah dan mau mengikuti agama calon pasangannya. Sehingga, unsure dilakukan menurut ajaran masing-masing agama sesuai dengan isyarat pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan terpenuhi.

Ngalahnya salah satu pasangan dengan mengikuti agama salah satu pasangan penting dilakukan, dengan harapan agama anak yang dilahirkan jelas. Sehingga tidak repot memikirkan setelah besar anak akan ikut agama bapak atau agama ibunya.dek