Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

SELAMAT DATANG DI KUBU JINGGA,BLOG YANG BERISI APA SAJA.

Rabu, 30 Juni 2010

Tradisi Dewa Perang Undang Wisatawan


AMLAPURA—
Berbagai tradisi unik didesa Tenganan Pageringsingan benar-benar mampu mengundang decak kagum wisatawan baik domestic maupun mancanegara. Seperti tradisi Mageret Pandan (Perang Pandan) atau yang biasa disebut Makare-Kare meski merupakan tradisi yang rutin dilakukan setiap tahun, namun ternyata mampu mengundang pengunjung.

Ratusan wisatawan asing memadati desa wisata Tenganan Pegringsingan dalam Makare-Kare yang digelar mulai Jumat (25/6) hingga Minggu (27/6) lalu. Upacara perang pandan ini memiliki makna tersendiri bagi umat Hindu di Tenganan yang menganut paham Indra yang merupakan Dewa Perang.

Desa Tenganan juga sangat unik. Penghitungan harinya menggunakan kalender tersendiri yang notabena berbeda dengan kalender masyarakat Hindu umumnya. Dalam kalender adat Tenganan, masyarakat tidak mengenal hari raya Galungan dan Kuningan serta Nyepi. Mereka memiliki hari besar yakni Aci Sambah yang dikenal dengan tradisi mekare-kare atau perang pandan. Usaba Sambah ini digelar sebulan penuh.

Sebelum aci Sambah dimulai, ada upacara pendahuluan seperti tradisi Maling-malingan yang khusus dilakukan oleh dua pemuda sebagai pencuri daging di Bale Agung. Setelah mencuri, dua pemuda yang diperankan oleh warga Tenganan tersebut dikejar dan ditangkap oleh masyarakat. Setelah tertangkap, keduanya dipakaikan baju dari daun pisang, bunga dan dikalungi keroncongan atau lonceng kerbau lalu diarak keliling desa. ‘’Tradisi ini bermakna bahwa penjahat tidak akan diampuni,’’tutur Kelian Adat Nengah Timur.

Selanjutnya dilakukan upacara Muran Teruna. Dimana, para teruna (pemuda) yang sudah disyahkan oleh adat sebagai pemuda desa, memilih gadis yang akan menemaninya dalam prosesi upacara perang pandan sebagai pasangannya. Setelah mendapatkan pasangannya, kemudian digelar tari Abwang yang digelar pada malam hari. Saat itu pemuda yang berpakaian seperti kesatria yang akan berperang, duduk bersila dihalaman Bale Agung, dengan menghunus keris dihadapan para Daa atau gadis. Lalu, para Daa mempersembahkan tarian sakral di depan para teruna diringi gambelan selonding. Setelah itu, barulah mereka mengelilingi ayunan yang disakralkan sebanyak tiga kali dan duduk di ayunan secara simbolis. Saat main ayunan, para daa yang menggunakan kain Geringsing ditemani oleh teruna. ‘’Maayunan merupakan prosesi sacral. Tidak sembarang orang boleh ikut mayunan,’’tambah Timur.

Setelah upacara tersebut dilewati, barulah dimulai perang pandan. Meskipun banyak yang sampai berdarah-darah, namun mereka mengaku tidak merasakan sakit. Sama seperti tradisi Maayunan, Perang Pandan yang berlangsung selama tiga hari ini juga dilakukan ditiga tempat yakni Bale Patemon Kelod, Kaja dan terakhir di gelar di bale Patemon Tengah. dek.

Tidak ada komentar: