Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

SELAMAT DATANG DI KUBU JINGGA,BLOG YANG BERISI APA SAJA.

Kamis, 01 April 2010

Perdikan Dukuh Yang Digempur Dalem Gelgel


KARANGASEM ternyata menyimpan berbagai keunikan budaya, tradisi dan adat istiadat, termasuk silsilah penduduk yang menempati suatu wilayah. Salah satu desa kuno yang menyimpan berbagai peradaban sejarah dan cerita yang sangat menarik adalah Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, yang berada di Kecamatan Manggis, Karangasem.

Desa yang terletak di kaki bukit Pegilihan, Tenganan Dauh Tukad dapat ditempuh lewat jalan mulus berhotmix sekitar 5 Km dari jalan raya menuju Desa Baliaga Tenganan Pagringsingan atau sekitar 23 Km dari Kota Amlapura.

Desa tua yang memiliki keunikan dalam perjalanan sejarah peradabannya, kini tumbuh menjadi desa wisata dengan lingkungan desa yang masih asri, tradisional dan eksotik.
Sebagaimana diketahui tradisi upacara Megeret Pandan, Nulak Damar, Daa Teruna Nyambah, Metekrok, Anyunan adalah merupakan budaya ritual aliran Indra (tradisi pra Hindu Majapahit) yang ada di desa Baliaga, Tenganan Pagringsingan. Namun demikian, tradisi ini juga ada di Tenganan Dauh Tukad yang nota bene beraliran ciwa (tradisi Hindu Majapahit).

Dalam menjalankan agama, sebagian warga didesa ini terpengaruh budaya pra Majapahit dan sebagian lagi terpengaruh oleh budaya Majapahit. Buaya Majapahit dapat dilihat dari penggunaan pendeta dalam upacara agama serta prosesi upacara Pitra Yadnya menggunakan bade (wadah) untuk mengusung sawa (jenazah).

Selain itu, keberadaan struktur prajuru adat dengan adanya posisi Penghulu Desa serta tidak membedakan soroh merupakan salah satu buaya warisan Majapahit.
Keberadaan desa ini diyakini memiliki kaitan sejarah dengan desa tetangga lainnya seperti Desa Tenganan Pesedahan (nama dalam prasasti desa) dan Desa Tenganan Pagringsingan (desa Baliaga).

Dalam lontar Babad Rusak De Dukuh dan Gegaduhan Desa Tenganan Pesedahan menyebutkan, ada tiga komplek Tenganan yakni Tenganan Dauh Tukad, Tenganan Pesedahan dan Tenganan Pagringsingan, menyatu dalam satu kiblat penyungsungan untuk mepahayu di Pura Rambut Petung yang ada di wilayah Desa adat Pesedahan sekarang.
Menurut babad, dikisahkan sekitar abad 17 saat kejayaan I Gusti Ngurah Sidemen, penguasa tanah perdikan setempat Dukuh Mengku yang sakti tinggal di Tenganan Dauh Tukad memiliki satu putra, atas titah Dalem Gelgel putranya diminta untuk menjadi juru kurung.

Namun Dukuh Mengku menolak karena merasa hanya memiliki satu putra yang akan meneruskan keturunannya. Atas penolakan itulah Dalem Gelgel marah dan mengutus I Gusti Ngurah Sidemen (Mangku Basukih) menjalankan perintah Raja. Bersama I Gusti Ngurah Abiantimbul, I Gusti Ngurah Sidemen didukung prajurit menyerang Dukuh Mengku dari arah selatan. Banyak rakyat Dukuh Mengku tewas dalam perang hebat hingga di wilayah tegal penangsaran (nama dalam babad), Lapangan Pakuwon Desa Pesedahan sekarang.

Rakyat Dukuh Mengku akhirnya kalah, Dukuh Mengku pun berfikir lalu membersihkan diri berpamitan seraya tangkil menyembah ke Pura Rambut Tiding, mohon pamit kepada Ida Sesuhunan untuk melakukan perang puputan. Usai sembahyang lalu berpakaian serba putih turun ketimur melewati Tukad Pesedahan tiba di Lapangan Pakuwon, Dukuh Mengku direbut oleh I Gusti Ngurah Sidemen dan I Gusti Ngurah Abiantimbul hingga tewas. Sisa rakyat Dukuh Mengku lari tunggang langgang mengungsi ke bukit sebelah barat dan berbagai arah.

Kekalahan Dukuh Mengku dilaporkan kepada Dalem Gelgel. Lalu diperintahkan agar krama yang masih ada diberikan hak istimewa tidak dikenakan cecamputan kepada penduduk di Dauh Tukad dan tidak mengambil istri untuk raja, yang selanjutnya diteruskan oleh trah raja yang memerintah di Karangasem, tradisi itupun berlangsung sampai sekarang.

Setelah itu Raja Dalem Gelgel memerintah I Gusti Ngurah Tenganan untuk menata dan membangun desa lokasi peperangan di Tenganan Pesedahan karena teringat akan kewajiban Mapahayu di Pura Rambut Petung sebagai salah satu penyungsungan Raja yang perlu diperhatikan. Sedangkan di Dauh Tukad diperintahkan oleh I Gusti Ngurah Sidemen anak I Made Mencur bernama I Made Bendesa ditugaskan melaksanakan pemerintahan dan aci-aci di Pura-Pura setempat termasuk di Pura Petung.

Budaya campuran yang ada di Desa Tenganan Dauh Tukad atas pengaruh dua masa berbeda tradisi Hindu pra Majapahit dan tradisi Hindu Majapahit masih terpelihara hingga kini. Bahkan untuk perhitungan waktu sasih menggunakan perhitungan waktu seperti yang berlaku di Desa Baliaga Tenganan Pagringsingan. sumber Humas Pemda Karangasem (dek).

Tidak ada komentar: