Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

SELAMAT DATANG DI KUBU JINGGA,BLOG YANG BERISI APA SAJA.

Jumat, 30 Juli 2010

Tradisi ''Berdarah-Darah'' Dikagumi Wisatawan



AMLAPURA—
Warisan budaya mekare-kare atau yang lebih terkenal dengan sebutan perang pandan di Desa adat Tenganan Dauh Tukad memukau ratusan wisatawan domestic maupun mancanegara. Meski tubuhnya bersimbah darah, namun mereka serasa tidak merasakan sakit.

Peserta perang pandan bukan hanya orang dewasa saja, tidak ketinggalan anak-anak yang memiliki keberanian ikut meramaikannya. Bahkan wisatawan mancanegara juga banyak yang mencobanya.

Sementara para teruna melakukan perang pandan, ratusan daha berdiri memberikan support dari bale agung.

Bendesa adat Tenganan Dauh TukadI Putu Ardana disela-sela kesibukannya mengatakan, perang pandan ini diikuti oleh warga dari dua banjar di Tenganan Dauh Tukad yakni banjar Kelodan dan Kajanan. Namun demikian, tidak sedikit warga dari luar desa yang mengikutinya. ‘’Warga luar desa boleh mengikutinya sepanjang mengerti aturan dan tidak membuat kericuhan,’’ujarnya, Jumat (30/7) kemarin.

Perang pandan ini sendiri memiliki makna tersendiri yakni sebagai bentuk latihan kewiraan untuk membela desa. Sehingga, tidak ada pengacau yang berani menyerang karena sudah disiapkan pagar betis untuk menghalanginya.

Perang pandan ini wajib diikuti oleh karma yang sudah naik dewasa. Kalaupun tidak mengikuti, mereka tidak dikenakan denda. ‘’Tidak ada sanksi bagi yang tidak mengikutinya. Meski anak-anak, sepanjang memiliki keberanian boleh ikut dalam pertarungan ini,’’terangnya.

Upacara ini dilaksanakan serangkaian dengan usaba sambah yang jatuh setiap bulan kelima menurut perhitungan kalender Tenganan. Ditambahkan oleh kelian teruna Tenganan Dauh Tukad, I Nengah Budiana, selain tujuan tersebut, perang pandan yang dilakukan hingga berdarah-darah juga memiliki makna menjaga keseimbangan.

Dimana menurut Budiana, banten yang dihaturkan dibalai agung diperuntukkan bagi para dewa, sementara darah yang tercecer dalam perang pandan dijadikan semacam caru yang diperuntukkan bagi para buta.

Frank seorang wisatawan asal Belanda yang menyaksikan perang pandan tersebut mengaku kagum dan heran. ‘’Ini pertarungan berdarah, saya heran mengapa mereka tidak merasakan kesakitan padahal lukanya seperti itu,’’ujar tourist yang mengaku tahu tradisi ini dari temannya.

Dia mengaku melihat perang pandan baru kali ini. ‘’Ini sungguh-sungguh pertarungan berdarah yang luar biasa,’’imbuhnya penuh kekaguman.

Tenganan Dauh Tukad merupakan desa campuran antara penganut paham Indra dengan paham Siwa yang dibawa dari Majapahit. Banyak tradisi yang ada didesa ini memiliki kemiripan dengan desa Tenganan Pegringsingan yang merupakan penganut paham Indra selaku dewa perang.dek.

Tidak ada komentar: